Selasa, 05 Maret 2013

Dentingan Piano Part III (The End)


“Dulu waktu aku kecil aku punya temen, bisa dibilang sahabat. Dia baik banget. dia suka sama lagu yang barusan kamu nyanyiin. Dia bilang sih gara-gara mamahnya suka nyalain lagu itu tiap hari sampe dia hafal. Dia sering coba nyanyi di depan aku. Ejaannya parah banget hahaha tapi suaranya udah bagus dari kecil. Namanya Mikha.” Tak terasa air mata Abel mengalir. “Eh sorry aku pulang duluan ya.”
Ara hanya terdiam. Ikut merasakan kerinduan Abel pada teman masa kecilnya. Ara tau tangisan Abel tak berarti Abel cengeng sebagai seorang cowok. Orang itu pasti sangat berarti untuk Abel. Ia juga merasa seperti mengenali kisah itu. Kisah Abel dan Mikha.

********


Hari H datang, hamper semua mahasiswa FSP (Fakultas Seni Pertunjukan) membawa alat musik tambahan untuk penampilan mereka. Ini salah satu nilai ujian praktek.
Grup akustik Abel berangkat dengan mobil Tristan. Mereka langsung ke ruang make up. Untuk para pria memakai celana jins dan kemeja kotak-kotak. Tetapi menggunakan warna kalem. Fya mengenakan celana ¾ dan atasan kaus polos putih, tapi ada scraf di lehernya, rambutnya di cepol. Dia memang cantik. Tapi ketika Ara keluar dari tempat ganti, semua orang tercengang. Ara memang sangat feminine sebenarnya gaun yang dipakai sangat sederhana. Putih dengan sentuhan batik di beberapa bagian. Rambutnya di kepang dari kiri ke kanan. Manis. Jantung Abel mempercepat detak jantungnya. Dan Fya menyadari hal itu.
“Tok tok tok.” Ketukan pintu membuyarkan perhatian mereka.

“Kalian udah siap kan? Giliran kalian tuh!”
“Siap mas Agis!” Jawab mereka serempak.

Penampilan mereka sangat indah. Terutama suara Arad an Abel. Membius semua penonton. Duetnya dengan Abel menyentuh dengan membawakan lagu Westlife – More Than Words dan KLA Project – Yogyakarta. Tak ada yang tau bahwa hati Abel juga ikut terbius dengan Ara.
“Penampilan kita sukses banget! Ini semua berkat kerja keras kita semua.” Ucap Kevin.
“Jalan yuk buat ngrayain!” Ajak Tristan.
“Ngikut ajadeh!” Ucap Fya.
“Pantai gimana?” Usul Abel.
“Oke!” Jawab yang lainnya hamper bersamaan.



**********
 



“Suasananya asik ya.” Ucap Abel.
“Iya, nyaman banget, damai… Kamu ga main gabung sama anak-anak yang lain main pasir?” Ucap Ara.
“Males kotor-kotoran. Enakan disini, duduk di karpet, banyak makanan lagi hehehehe…” Abel tertawa membuat matanya menyipit. Ada sedikit lesung pipi di pipinya. ‘Ah Abel, andai kamu tau rasaku…’ Pikir Ara.
“Ara, aku gatau gimana bilangnya karena kita baru kenal… Aku… Hmm…” Abel salah tingkah. Tiba-tiba Ara memegang tangan Abel. Fya yang melihat dari kejauhan merasa sakit dan melampiaskannya dengan melempar-lemparkan pasir basah ke Tristan. Dan terjadi perang pasir basah antara Tristan, Kevin dan Fya.
“Kamu tau kalau persahabatan lebih penting dari segalanya?” Mata Ara menerawang.
“Hmm…” Abel tidak mengerti apa maksud Ara.
“Aku punya sahabat yang baik banget, dari kecil, dia suka jailin aku dan bikin aku nangis, tapi dia juga yang selalu berusaha buat aku ketawa lagi. Kalo ada yang jailin sampe aku nangis selain dia, dia yang pertama marah. Aku suka panggil dia Pam-Pam. Abis gendut sih. Hehehe…” Sebuah Kristal mengembun di mata Ara. “Tapi sekarang dia udah kurus, ganteng, jago main gitar dan nyanyi. Saking gantengnya nih aku sampe naksir hehehe tapi waktu aku tau dia Pam-Pam, aku urungin semua niat aku dan aku cuma pingin bisa sahabatan kayak dulu lagi.”
“Ra…. Tapi… Tapi kamu Ara kan bukan Mikha?” Abel masih tidak mengerti.
“Iya aku Ara, tapi nama panjang aku Mikha Zahrantiara.” Ucapannya bergetar.
Deg! Seperti ada beban yang diletakkan di dada Abel.
“Kamu liat deh cewek cantik yang lagi main pasir itu. Dia sayang sama kamu. Mungkin ngelebihin aku sebagai pacar. Rasa sayang aku lebih besar tapi sebagai sahabat. Mending kamu sama dia aja.” Setetes embun itu jatuh.
“Ra… maaf aku gatau kalo kamu itu Mikha, aku… juga sempet naksir sama kamu, tapi kamu bener. Sahabat lebih dari segalanya.” Abel mempererat genggaman tangannya.
“Dasar cengeng!!!” Abel mengacak-acak rambut Ara lalu lari meninggalkannya.
“Eh pam-pam genduuuttt!” Ara mengejar Abel dengan isakan airmata bahagia. Saat itu Abel merasa seperti sebuah batu terangkat dari dadanya.



The End
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar