“Dulu waktu aku kecil aku punya temen, bisa dibilang
sahabat. Dia baik banget. dia suka sama lagu yang barusan kamu nyanyiin. Dia
bilang sih gara-gara mamahnya suka nyalain lagu itu tiap hari sampe dia hafal.
Dia sering coba nyanyi di depan aku. Ejaannya parah banget hahaha tapi suaranya
udah bagus dari kecil. Namanya Mikha.” Tak terasa air mata Abel mengalir. “Eh
sorry aku pulang duluan ya.”
Ara hanya terdiam. Ikut merasakan kerinduan Abel
pada teman masa kecilnya. Ara tau tangisan Abel tak berarti Abel cengeng
sebagai seorang cowok. Orang itu pasti sangat berarti untuk Abel. Ia juga
merasa seperti mengenali kisah itu. Kisah Abel dan Mikha.
********
Hari H datang, hamper semua mahasiswa FSP (Fakultas
Seni Pertunjukan) membawa alat musik tambahan untuk penampilan mereka. Ini
salah satu nilai ujian praktek.
Grup akustik Abel berangkat dengan mobil Tristan.
Mereka langsung ke ruang make up. Untuk para pria memakai celana jins dan
kemeja kotak-kotak. Tetapi menggunakan warna kalem. Fya mengenakan celana ¾ dan
atasan kaus polos putih, tapi ada scraf di lehernya, rambutnya di cepol. Dia
memang cantik. Tapi ketika Ara keluar dari tempat ganti, semua orang tercengang.
Ara memang sangat feminine sebenarnya gaun yang dipakai sangat sederhana. Putih
dengan sentuhan batik di beberapa bagian. Rambutnya di kepang dari kiri ke
kanan. Manis. Jantung Abel mempercepat detak jantungnya. Dan Fya menyadari hal
itu.
“Tok tok tok.” Ketukan pintu membuyarkan perhatian
mereka.
“Kalian udah siap kan? Giliran kalian tuh!”
“Siap mas Agis!” Jawab mereka serempak.
Penampilan mereka sangat indah. Terutama suara Arad
an Abel. Membius semua penonton. Duetnya dengan Abel menyentuh dengan
membawakan lagu Westlife – More Than Words dan KLA Project – Yogyakarta. Tak
ada yang tau bahwa hati Abel juga ikut terbius dengan Ara.
“Penampilan kita sukses banget! Ini semua berkat
kerja keras kita semua.” Ucap Kevin.
“Jalan yuk buat ngrayain!” Ajak Tristan.
“Ngikut ajadeh!” Ucap Fya.
“Pantai gimana?” Usul Abel.
“Oke!” Jawab yang lainnya hamper bersamaan.
********** |
“Suasananya asik ya.” Ucap Abel.
“Iya, nyaman banget, damai… Kamu ga main gabung sama
anak-anak yang lain main pasir?” Ucap Ara.
“Males kotor-kotoran. Enakan disini, duduk di
karpet, banyak makanan lagi hehehehe…” Abel tertawa membuat matanya menyipit.
Ada sedikit lesung pipi di pipinya. ‘Ah
Abel, andai kamu tau rasaku…’ Pikir Ara.
“Ara, aku gatau gimana bilangnya karena kita baru
kenal… Aku… Hmm…” Abel salah tingkah. Tiba-tiba Ara memegang tangan Abel. Fya
yang melihat dari kejauhan merasa sakit dan melampiaskannya dengan
melempar-lemparkan pasir basah ke Tristan. Dan terjadi perang pasir basah
antara Tristan, Kevin dan Fya.
“Kamu tau kalau persahabatan lebih penting dari
segalanya?” Mata Ara menerawang.
“Hmm…” Abel tidak mengerti apa maksud Ara.
“Aku punya sahabat yang baik banget, dari kecil, dia
suka jailin aku dan bikin
aku nangis, tapi dia juga yang selalu berusaha buat aku ketawa lagi. Kalo ada
yang jailin sampe aku nangis selain dia, dia yang pertama marah. Aku suka
panggil dia Pam-Pam. Abis gendut sih. Hehehe…” Sebuah Kristal mengembun di mata
Ara. “Tapi sekarang dia udah kurus, ganteng, jago main gitar dan nyanyi. Saking
gantengnya nih aku sampe naksir hehehe tapi waktu aku tau dia Pam-Pam, aku
urungin semua niat aku dan aku cuma pingin bisa sahabatan kayak dulu lagi.”
“Ra…. Tapi… Tapi kamu Ara kan bukan Mikha?” Abel
masih tidak mengerti.
“Iya aku Ara, tapi nama panjang aku Mikha
Zahrantiara.” Ucapannya bergetar.
Deg! Seperti ada beban yang diletakkan di dada Abel.
“Kamu liat deh cewek cantik yang lagi main pasir
itu. Dia sayang sama
kamu. Mungkin ngelebihin aku sebagai pacar. Rasa sayang aku lebih
besar tapi sebagai sahabat. Mending kamu sama dia aja.” Setetes embun itu
jatuh.
“Ra… maaf aku gatau kalo kamu itu Mikha, aku… juga
sempet naksir sama kamu, tapi kamu bener. Sahabat lebih dari segalanya.” Abel
mempererat genggaman tangannya.
“Dasar cengeng!!!” Abel mengacak-acak rambut Ara
lalu lari meninggalkannya.
“Eh pam-pam genduuuttt!” Ara mengejar Abel dengan
isakan airmata bahagia. Saat itu Abel merasa seperti sebuah batu terangkat dari
dadanya.
The End |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar