Mereka sampai kelas dan langsung mencari bangku baris
kedua karena mereka suka pelajaran musikalisasi. Apalagi dalam pelajaran ini
berbagai insrumen bisa di gabungkan, jadi harus datang cepat untuk dapat bangku
depan.
Sambil mengeluarkan buku-bukunya, mata Abel tertuju
pada seseorang yang duduk di depan pojok kanan ruangan. Rambutnya tidak terlalu
panjang atau pendek, lurus tapi agak keriting di bawahnya. Beberapa kali cewek
itu menengok ke belakang, manis. Pelajaran dilalui Abel tanpa konsentrasi
penuh.
“Tettt…Tettt…” Kelas menjadi riuh. Abel segera
merapikan bukunya. Berniat untuk berkenalan dengan cewek itu.
“Hei, sorry, kamu anak baru disini? Aku baru liat
soalnya…”
“Hah? Eh iya, aku baru disini. Baru pindah instrumen
soalnya.” Jelasnya dengan sedikit kaget. Tapi tetap mencoba ramah dengan
tersenyum.
“Oh, kalo boleh tau namanya siapa?”
“Ara, eh udah dulu ya aku ada kelas lagi.”
“Eh…eh…” Ara sudah hilang dari balik
pintu kelas. “Aku Abel…” Nadanya melemah.
Abel masih terbanyang-bayang dengan Ara. Ada sesuatu
tentang Ara yang mengusik hatinya. Ara bahkan belum mengetahui namanya. ‘Instrumen apa ya yang Ara ambil?’ Pikir
Abel. ‘Ah sudahlah, aku harus memikirkan
penampilan untuk PPFA’. Ya, sebentar lagi fakultasnya akan mengadakan PPFA
atau Proudly Present From Archipelago. Semua instrument di Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) harus
menampilkan sesuatu. Kelompoknya bebas dan apa yang di tampilkan juga bebas,
yang jelas harus mengandung unsur musik.
Sejak hari itu Abel kerap kali pergi ke ruang musik
akustik utnuk berlatih dengan grup akustiknya. Ada Tristan, Kevin, Bernard yang
bermain gitar, dan Ia sendiri bermain gitar dan bernyanyi. Suara Abel memang
bagus. Tegas tapi lembut, tak heran banyak yang mencoba mendekatinya. Bahkan
sahabat terdekatnya sendiripun menyimpan rasa kepadanya. Tapi ia bukan orang
yang mudah jatuh cinta.
Setelah menyelesaikan kelas gitarnya Ia langsung
menuju ruang musik akustiknya. Dengan menenteng gitar putih tulangnya yang
dibalutnya denga tas gitarnya, siapa yang tak jatuh hati? Hamper semua cewek di
kapmpusnya meliriknya. Tapi yang ia pikirkan hanya Ara.
“Hei, sorry rada telat, habis ada kelas nih.” “Eh
kalian tau ga tadi…” Ucapannya terhenti saat Ia melihat seseorang yang tak lagi
asing. Ara. Ara memakai scarf yang cantik, pas dengan baju dan rok selututnya.
Tapi untuk apa ia disini? Mau latihan juga? Bukannya ini jadwal grup akustikku?
“Bel kenalin ini Ara, dia anak baru di kampus ini,
ambil instrument piano dia. Dia bakal ikut nyanyi pas ntar PPFA. Kasian dia
belum dapet kelompok buat tampil.”
“Udah kenal kok.” Ara tersenyum manis.
“Oh udah kenal? Yaudah kebeneran, eh si Bernard pas
GKS lagi ga di kampus jadi ga bisa tampil bareng kita. Dia mau nyusul ujian
prakteknya. Nih makanya ada Fya disini juga.” Jelas Kevin.
“Eh ada fya, kok ga ngliat dari tadi hahaha…”
“Ah kamu aja yang ngliat Ara terus sampe ga nyadar
ada aku.” Ucap Fya seakan hatinya baik-baik saja.
“Ah bisa aja kamu Fy!” Abel tertawa. Salah tingkah
jadinya. “Yuk ah langsung latian!”
Mereka membaur menjadi satu. Abel dan Ara bernyanyi
dengan merdunya. Abel tak menyangka suara sangat bagus, adak serak-serak di suaranya.
Abel jatuh cinta. Love at the first sight. Berkali-kali Fya salah memainkan
kord. Tristan berkali-kali juga memperingatkan Fya. Hanya ia yang tau pasti apa
penyebab konsentrasinya buyar.
“Yak, latian kali ini udah cukup. Thanks ya udah
pada dating. Fya konsentrasi jangan lupa.” Ucap Kevin. Mereka meninggalkan
ruangan satu persatu.
“Yuk Bel cepetan!” Ajak Fya karena memang mereka
selalu pulang bersama.
“Kamu gak pulang ra?“ Abel malah menanyai Ara.
“Hah? Engga, mau nyobain piano disini. Kamu kalo mau
duluan aja.”
“Gak deh, mau liat kamu main. Tadi suara kamu bagus
loh.” Fya meninggalkan ruangan itu dengan beban di dadanya. Abel sedang jatuh
cinta.
“Jangan ketawa ya, pemula nih.”
“Ah yang penting kan liat kamunya.” Ada yang
berdesir di hati Arad an Abel. Rasa yang sama.
Intro lagu Hero - Mariah Carey terdengar. ‘Lagu ini! Kenapa dia memilih lagu ini? Ah
hanya kebetulan!’ Pikir Abel menenangkan diri sendiri. Arapun mulai
bernyanyi. Suara yang sama dnegan waktu itu, ‘pasti waktu itu Ara’ Dentingan pianonya. Setiap jari-jari Ara
menekan tuts-tuts piano hati Abel sejuk. Abel teringat dengan teman masa
kecilnya.
“Ra, kamu tau ga?” Ara menghentikan permainannya.
“Kenapa Bel?” Ara menatap Abel serius. Tetapi
senyumnya tetap mengembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar